Di tengah modernisasi dan kemajuan teknologi, warisan budaya tetap menjadi penanda identitas yang tak tergantikan. Salah satu tradisi yang masih lestari hingga kini adalah jemparingan, seni memanah tradisional khas Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Namun, dari sekian banyak gaya dalam jemparingan, gaya Mataraman menempati posisi unik karena bukan hanya olahraga, tetapi juga sarat filosofi dan nilai-nilai luhur.
Apa Itu Jemparingan Gaya Mataraman?
Jemparingan berasal dari kata “jemparing”, bahasa Jawa yang berarti panah. Jemparingan gaya Mataraman merujuk pada teknik dan sikap memanah yang berkembang di kawasan Mataram, wilayah budaya yang kini mencakup DIY dan sebagian Jawa Tengah. Berbeda dari olahraga panahan pada umumnya, jemparingan gaya Mataraman menuntut pemanah untuk duduk bersila (lesehan) di tanah saat membidik sasaran. Busur yang digunakan pun bukan compound bow atau recurve bow, melainkan busur tradisional dari bambu atau kayu.
Namun yang membuatnya istimewa bukan hanya alat atau tekniknya, melainkan etos yang dibawanya. Jemparingan bukan sekadar soal tepat sasaran, tapi tentang nglakoni (menjalani) hidup dengan kesabaran, ketenangan, dan pengendalian diri.
Jejak Sejarah: Dari Keraton ke Kampung-Kampung
Tradisi ini diperkirakan berkembang sejak masa Kesultanan Mataram Islam pada abad ke-16. Jemparingan mulanya adalah pelatihan militer bagi prajurit kerajaan, namun seiring waktu bertransformasi menjadi olahraga kalangan bangsawan. Para raja dan pangeran dari Keraton Yogyakarta maupun Surakarta kerap menggelar latihan bersama sebagai ajang ketangkasan dan refleksi diri.
Di masa penjajahan, praktik jemparingan sempat mengalami penurunan. Namun setelah kemerdekaan, sejumlah tokoh budaya dan komunitas masyarakat berupaya menghidupkannya kembali, bukan hanya sebagai warisan kesenian, melainkan juga sarana pembentukan karakter generasi muda.
Filosofi: Memanah dengan Hati, Bukan Emosi
Yang menarik dari jemparingan Mataraman adalah pendekatannya yang filosofis. Pemanah diajarkan untuk eling lan waspada—selalu ingat dan waspada—dalam setiap tarikan busur. Target panah disebut bandulan, bentuk silinder kecil yang digantung, bukan papan lingkaran seperti dalam olimpiade. Sasaran ini melambangkan fokus hidup yang harus dicapai dengan keseimbangan pikiran dan perasaan.
Tidak ada teriakan atau sorak saat memanah. Suasana biasanya hening, hanya terdengar desiran angin dan suara panah menembus udara. Di sinilah letak keunikan jemparingan: olahraga yang mendekatkan diri pada kebeningan batin.
Warisan yang Terus Dijaga
Kini, berbagai komunitas di Yogyakarta, Klaten, Solo, hingga daerah-daerah lain di Jawa terus melestarikan jemparingan gaya Mataraman. Bahkan, sudah ada kejuaraan tahunan yang mengundang pemanah dari berbagai daerah. Tak sedikit pula sekolah dan pesantren yang memasukkan jemparingan dalam kegiatan ekstrakurikuler sebagai cara memperkenalkan budaya sekaligus membentuk karakter siswa.
Di era digital, beberapa kreator konten turut mengangkat jemparingan ke media sosial, memperkenalkannya ke generasi muda secara segar dan kontekstual. Dari taman budaya hingga halaman rumah warga, semangat jemparingan kini kembali hidup.